Beranda | Artikel
Kaidah Ke-32 : Menunaikan Kewajiban Orang Lain Dengan Niat Mendapatkan Ganti
Kamis, 19 Februari 2015

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Dua

مَنْ أَدَّى عَنْ غَيْرِهِ وَاجِبًا بِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ عَلَيْهِ رَجَعَ وَإِلاَّ فَلاَ

Barangsiapa menunaikan kewajiban orang lain dengan niat mendapatkan gantinya maka ia berhak mendapatkannya, dan jika dia tidak meniatkan demikian maka dia tidak berhak mendapatkan gantinya

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjadi patokan dalam kasus seseorang yang menunaikan kewajiban orang lain yang berkaitan dengan harta. Apabila ia melakukannya dengan niat meminta ganti kepada yang terbeban kewajiban maka ia berhak untuk mendapatkan gantinya. Namun jika ia melakukannya dengan niat tabarru’ (shadaqah) bukan mengharapkan ganti, atau tanpa meniatkan sesuatu secara khusus[1] maka ia tidak berhak mendapatkan ganti harta dari pemilik kewajiban.[2]

DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. [ath-Thalâq/65:6]

Ayat ini menjelaskan tentang seorang isteri yang telah diceraikan oleh suaminya sementara keduanya memiliki anak yang masih harus disusui. Jika anak tersebut tetap disusui oleh ibunya, maka si ibu berhak mendapat upah atas susuannya tersebut.[3] Karena yang berkewajiban mencarikan susuan si anak adalah bapaknya. Dan karena si ibu telah menjalankan kewajiban ayah si anak, maka dia berhak mendapat upah dari ayah anak tersebut.

Ibnu Katsîr t mengatakan, “Makna ayat ini, jika isteri tersebut telah melahirkan anaknya sedangkan ia dalam keadaan ditalaq, maka dengan kelahiran tersebut statusnya telah menjadi thalaq bain[4] karena masa iddahnya telah selesai. Dan boleh baginya untuk menyusui anak tersebut, boleh pula ia menolak, setelah anak tersebut diberikan liba’ [5] , yaitu ASI yang pertama kali keluar dari ibunya yang umumnya bisa menambah kekuatan anak. Apabila ia tetap menyusui anaknya maka ia berhak mendapatkan upah sewajarnya.”[6]

Demikian pula Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. [at-Taubah/9:91]

Ayat ini merupakan dalil umum tentang berhaknya seseorang mendapatkan ganti apabila ia menunaikan kewajiban orang lain yang berkait dengan harta dengan niat untuk mengambil ganti dari orang yang mempunyai kewajiban.[7]

العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيْءُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ

Orang yang meminta kembali pemberian yang telah ia berikan seolah-olah seperti anjing yang memuntahkan sesuatu lalu mendatangi kembali muntahan itu dan memakannya.[8]

Hadits ini merupakan dalil bahwa orang yang menunaikan kewajiban orang lain yang berkait dengan harta dengan niat tabarru’ maka ia tidak berhak meminta ganti kepada pemilik kewajiban.

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Contoh penerapan kaidah ini cukup banyak sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama. Di antaranya :

1. Apabila Ahmad mempunyai tanggungan hutang pada Hasan. Kemudian Zaid melunasi hutang tersebut tanpa sepengetahuan Ahmad. Dikemudian hari, muncul permasalahan, apakah Zaid berhak meminta ganti kepada Ahmad ? Berdasarkan kaidah ini, maka perlu perincian. Jika saat pelunasan, Zaid berniat meminta ganti kepada Ahmad, maka ia berhak untuk meminta ganti kepada Ahmad. Namun, jika ia tidak berniat seperti itu, maka ia tidak berhak meminta ganti kepada Ahmad.[9]

2. Apabila Ali meninggalkan keluarganya selama beberapa waktu untuk suatu keperluan. Suatu ketika, anak dan isterinya kekurangan bahan kebutuhan sehari-hari. Kemudian Zaid menyerahkan sejumlah harta ke anak dan isteri Ali untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila ketika menyerahkan harta itu, ia berniat meminta ganti kepada Ali, maka ia berhak meminta ganti darinya. Namun jika ia niatkan shadaqah, maka ia tidak berhak meminta ganti dari Ali.[10]

3. Berkaitan dengan barang gadaian. Jika Ahmad berhutang kepada Hasan dengan menyerahkan sepeda motor sebagai jaminan. Dengan demikian, berarti status sepeda motor itu menjadi barang gadai. Dalam kasus ini, jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan selama berada ditangan Hasan, maka Hasan berhak meminta ganti biaya yang dikeluarkannya tersebut kepada Ahmad jika saat mengeluarkan biaya tersebut ia berniat meminta ganti. Namun jika ia berniat suka rela tanpa mengharapkan imbalan maka ia tidak berhak meminta ganti.[11]

4. Berkaitan dengan permasalahan wadi’ah (barang titipan). Apabila Ali menitipkan barang yang memerlukan biaya perawatan kepada Zaid. Jika Ali mengeluarkan biaya perawatan barang tersebut dengan niat meminta ganti kepada Zaid maka ia berhak meminta gantinya. Namun jika tidak berniat seperti itu maka ia tidak berhak mendapatkannya.[12]

5. Berkaitan dengan permasalahan luqathah (barang temuan). Apabila Ahmad menemukan barang temuan yang memerlukan biaya untuk perawatan dan pemeliharaan, seperti hewan ternak atau semisalnya. Jika Ahmad mengeluarkan biaya perawatan itu dan saat mengeluarkannya dia berniat untuk meminta ganti ke pemilik barang jika sang pemiliknya datang, maka Ahmad berhak meminta ganti. Namun jika tidak berniat demikian, maka ia tidak berhak menuntut ganti biaya tersebut.[13]

KETERANGAN TAMBAHAN
Para Ulama menjelaskan bahwa kewajiban orang lain yang berkaitan dengan harta yang bisa ditunaikan oleh orang lain hanya terbatas pada kewajiban-kewajiban yang tidak disyaratkan niat dari orang yang mempunyai kewajiban tersebut. Jika kewajiban-kewajiban itu termasuk kewajiban yang syarat sahnya niat dari orang yang bersangkutan, maka kewajiban itu tidak bisa bisa gugur jika ditunaikan oleh orang lain tanpa sepengetahuan orang memiliki kewajiban tersebut. Karena kewajiban itu tidak bisa digugur, maka orang yang menunaikannya tidak berhak mendapatkan ganti sama sekali. Di antara kewajiban-kewajiban yang membutuhkan niat dari orang yang memiliki kewajiban adalah zakat, kaffarah, nadzar dan semisalnya.[14]

Misalnya, apabila Ali mempunyai kewajiban membayarkan zakat hartanya. Kemudian Zaid membayarkan zakat tersebut tanpa sepengetahuan Ali dan tanpa izinnya. Dalam hal ini, kewajiban Ali belum gugur karena ketika zakat itu ditunaikan tidak disertai niat dari Ali. Konsekuensi berikutnya, Zaid adalah tidak berhak meminta ganti dari Ali karena kewajiban zakat belum gugur.[15]

Wallahu a’lam.[16]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yaitu tidak berniat untuk meminta ganti dan tidak pula berniat tabarru’ (sumbangan).
[2]. at-Ta’liq ‘alal Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîml Badî’atin Nâfi’ah, hlm. 189-190.
[3]. as-Syarhul Mumti’ 13/515-516.
[4]. Thalaq bain adalah perceraian yang mana si suami tidak bisa lagi meruju’ mantan isterinya. (Minhajul Muslim, hlm. 353)
[5]. Liba’ adalah Air Susu Ibu yang pertama setelah melahirkan. (al-Mausû’atul Fiqhiyyah 35/191).
[6]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 4/2870.
[7]. Penjelasan Syaikh Khalid al-Musyaiqih dalam ceramah beliau mensyarah kitab Manzhûmah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di di situs beliau www.almoshaiqeh.com pada penjelasan bait ke-46 :
ومـن يــؤد عـن أخـيه واجبــا له الرجــوع إن نــوى يـطالبــا
[8]. HR. al-Bukhari no. 2589 dan Muslim no. 1622.
[9]. Lihat Syarhul Qawâ’id as-Sa’diyah, hlm. 202.
[10]. Lihat Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrirul Fawâid 2/77.
[11]. Idem, 2/82.
[12]. Lihat Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrîr Ushûl Qawâ’id Ibni Rajab, hlm. 78.
[13]. Idem.
[14]. at-Ta’liq ‘alal Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîml Badî’atin Nâfi’ah, hlm. 190.
[15]. Oleh karena itulah Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin t memberikan taqyid (batasan atau syarat) terhadap kaidah ini dengan perkataan( إن برئ الغير به ) (apabila penunaian itu menyebabkan kewajiban orang lain yang ditunaikan itu gugur). (at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah, hlm. 89)
[16]. Diangkat dari kitab al Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîml Badî’atin Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 84. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4071-kaidah-ke-32-menunaikan-kewajiban-orang-lain-dengan-niat-mendapatkan-ganti.html